“Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Berarti juga, anak-anak yang tidak terdidik di Republik ini adalah “dosa” setiap orang terdidik yang dimiliki di Republik ini. Anak-anak nusantara tidak berbeda. Mereka semua berpotensi. Mereka hanya dibedakan oleh keadaan.”
― Anis Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
“Bahwa pendidikan adalah senjata paling kuat dan ampuh untuk mengubah dunia. Untuk itulah, pendidikan di setiap negara harus menjadi masalah yang diprioritaskan dan segera ditangani.”
― Nelson Mandela, Presiden Afrika Selatan 1994 -1999
Sejak kecil saya bercita-cita menjadi dokter. Latar belakang keluarga yang sederhana tidak banyak memberikan pilihan dan wawasan tentang profesi-profesi yang ada di dunia orang dewasa. SD saya dulu di pedalaman sumatera. Dengan mayoritas penduduk desa, kami bekerja yang sebagai petani sawah dan karet. Saya hanya tahu profesi PNS, guru, tentara, dan polisi. Cita-cita saya tidak berubah sejak kecil hingga SMA. Sampai akhirnya saya bisa kuliah di Bandung dan mengetahui banyak jurusan-jurusan lainnya yang prospeknya juga sangat menjanjikan.
Setelah bekerja di bidang migas yang dulunya tidak pernah saya bayangkan, saya merasa merasa berkewajiban kepada masyarakat untuk memberikan informasi dengan belajar dari pengalaman saya. Di Kelas Inspirasi Bandung, saya bertemu teman-teman kelompok yang hebat. Ada Teh Dewi yang berprofesi sebagai event organizer, Teh Nisa yang bekerja sebagai arsitek, Teh Rani seorang pengacara, Kang Robbi dan Teh Asun yang bergelar dokter, Kang Aldi yang bekerja sebagai human resource, Teh Intan yang berprofesi sebagai developer, Teh Detty yang bekerja di bank, Kang Gigi seorang supervisor yang juga musisi, Teh Disty yang berwirausaha di bidang cake & pastry, Kang Dimas di bidang marketing, Teh Tina sebagai produser radio, Teh Gita yang ahli gizi, Kang Bisma seorang fotografer lepas, serta Kang Adit yang jago videografi.
Sangat menyenangkan bertemu dengan anak-anak yang bersemangat dan memiliki rasa ingin tahu tinggi. Saat pagi kami datang ke SDN Baros Mandiri 5 Cimahi, beberapa siswa sudah ada yang datang duluan. Ini pengalaman pertama saya mengajar anak-anak SD menggantikan para Guru dan sekaligus menggantikan peran kepala sekolah karena saya ketua Kelompok 47. Sebenarnya sudah seminggu kami mempersiapkan acara ini. Namun selalu saja ada hal tak terduga di Hari H. Ada inspirator yang mengundurkan diri, ada dokumentator yang tidak jadi hadir, dan sebagainya.
Pagi itu, kelas 6 akan melaksanakan try out dan ruangan kelas 4-6 dipakai. Kami pun memutuskan masuk siang saja khusus untuk kelas 4-6. Untung kami sudah berkoordinasi sebelumnya dengan pihak sekolah. Ketika masih jam 06.45 pagi dan belum semua inspirator hadir, anak-anak tampak sangat antusias dan mulai berbaris rapi di halaman sekolah. Saya agak panik karena malu. Namun saya coba pergunakan waktu untuk mengecek semua perlengkapan dan sound system.
Syukurlah tepat jam 07.00 WIB, semua inspirator sudah hadir dan acara pun bisa dimulai. Saya mengganti kostum dengan seragam lapangan berupa coverall, safety helmet, gloves, dan safety shoes. Dan anak-anak spontan saling bahkan ada yang tertawa keras. “Ih, kayak tukang bangunan..” seru salah seorang anak. Mereka tambah tertawa keras melihat kami para inspirator memakai topeng. Kami pun senang sekali dengan respon yang bersemnagat seperti ini. Saya langsung membuka acara, mengucapkan kata sambutan, dan memberikan ice breaking untuk anak-anak.
Setelah satu per satu para inspirator memperkenalkan diri dan dibagi tugas mengajar di kelas mana, kami secara teratur menuju kelas masing-masing.
Giliran pertama saya masuk ke kelas 5C. Anak-anak kelas 5 sudah sedikit paham tentang perminyakan dan mereka langsung merespon dengan kata-kata “Pom Bensin”. Saya pun bisa menjelaskan minyak bumi berasal dari mana ditambah dengan alat peraga berupa poster dan jenis batuan. Mereka senang apabila kita mengaitkan dengan sesuatu yang mereka kenal. Setelah istirahat, saya masuk kelas 2A dan memang di kelas ini saya harus lebih banyak menggunakan alat peraga dibanding kata-kata. Mereka banyak bertanya.
Kelas ketiga yang saya ajar yaitu kelas 3B. Di kelas ini energi anak-anak sangat luar biasa, dan banyak yang berlarian kemana-mana. Saya berinisiatif mengajar sambil bermain. Game yang saya pilih yaitu “bisik berantai”. Anak-anak dibagi per kelompok dan anggota terdepan akan saya bisikkan satu kata yang berkaitan dengan profesi dan ia akan membisikkan ke belakang dan seterusnya hingga anak paling terakhir. Grup yang menangkap kata yang salah akan disuruh bernyanyi. Semua anak senang hingga ada satu anak melakukan kesalahan dan semua anggotanya menyalahkannya hingga ia menangis. Saya pun menenangkan anak tersebut dan mengajarkan ke kelas bahwa tidak boleh saling menyalahkan dalam kelompok. Benar atau salahnya kita harus bertanggungjawab.
Kelas terakhir yang saya ajar yaitu kelas 4A. Saya masuk dan mengatakan tepuk semangat, ternyata kelas ini tidak merespon. Saya baru sadar bahwa kelas ini tidak ikut pembukaan karena masuk siang disebabkan ruangannya dipakai Try Out oleh anak-anak kelas 6. Sebelum mengenalkan profesi, saya mengajarkan ice breaking yang nantinya berguna saat acara penutupan. Untungnya kelas ini cepat paham. Di akhir acara mengajar, kami mengajak anak-anak untuk menuliskan cita-cita masing-masing dan menempelkannya pada Pohon Cita-Cita.
Seorang anak bertanya “Pak, apakah cita-cita boleh berubah?” Saya menjelaskan bahwa semua orang berhak untuk punya cita-cita dan punya impian. Cita-cita kita adalah pilihan kita. Jika memang ingin berubah, maka itu atas kehendak kita sendiri, bukan karena pengaruh atau paksaan dari orang lain.
Dan tiba saat penutupan, kami berbaris di lapangan dan mengucapkan kata-kata perpisahan. Semua anak tampak senang dengan Pohon Cita-Cita masing-masing kelas. Hari itu, 18 Februari 2015, benar-benar pengalaman yang sangat menarik dan menyenangkan. Dari kegiatan ini kami mendapatkan potret pendidikan Indonesia dan sangat bangga bisa membantu tunas-tunas harapan bangsa untuk membuka wawasan mereka.
“Semua orang bisa saja mengajarkan sesuatu kepada anak-anak. Kita bisa saja mengajarkan pelajaran satu hari untuk anak-anak, tetapi jika bisa mengajar dengan menciptakan rasa ingin tahu, mereka akan melanjutkan proses pembelajaran selama mereka hidup.”