“Apakah saya mengispirasi ?”
Selama tiga minggu saya dipusingkan dengan pertanyaan itu.
Jumat, 6 Februari lalu saya mendelik heran, sebuah email mengerutkan kening. Membaca isinya menghadirkan tumpukkan pertanyaan di benak. Email yang masuk sejak empat hari sebelumnya itu saya baca hati-hati, sebuah undangan kehormatan yang menyatakan kalau saya terpilih menjadi relawan mengajar. Mengajar di kelas inspirasi Bandung.
Mengajar?
Inspirasi?
Saya?
Beberapa jam saya mengabaikan isi email tersebut. Tak tertarik untuk melanjutkan. Sungguh, saya hanya merasa tidak pantas. Akan tetapi sisi lain dalam diri saya menolak. Ada dorongan dalam lingkup ‘penasaran’, sebuah pertanyaan yang membuat dilema “Kenapa enggak dicoba dulu?”. Tak mau menyesal, saya kembali membuka email itu, membacanya, berhenti beberapa detik, lalu mengonfirmasi kehadiran. Baiklah, saya tidak akan pernah tahu kalau saya tidak mencobanya, bukan?
Adalah Dian Anggraeni, seorang teman perjalanan ke Bromo yang menyuruh saya untuk mendaftar di kegiatan tersebut. Wanita berambut sebahu itu memberikan alamat tautan di kotak komentar salah satu postingan saya dalam Path.
“Tetapi, aku kan bukan siapa-siapa, Kak. Bisa?”
Begitu jawaban saya ketika di akhir komentar yang terlampir alamat tautan yang di dalamnya ada kalimat “Daftar sekarang menjadi relawan pengajar/dokumentasi”.
“Ayok dicoba daftar dulu.”
Tulisnya di bawah komentar selanjutnya.
Tidak. Saya tidak langsung membuka tautan tersebut. Namun di lain waktu, Kak Dian kembali menanyakan “Udah daftar?” Saya menjawab jujur belum membuka tautan tersebut.
Seperti punya hutang, saya merasa harus membayarnya. Demi punya jawaban yang tidak lagi ditagih, pada tengah malam saya membuka tautan tersebut, membacanya, lalu mengisi form yang tersedia. Batin semakin yakin bahwa saya tidak layak mengikuti kegiatan tersebut. Aneh, kenapa kak Dian menginginkan saya ada dalam kegiatan itu.
Dan email berisi undangan kehormatan itu mengubah segalanya. Saya tidak punya gambaran apapun tentang Kelas Inspirasi. Pun tidak berniat untuk mencari tahu. Tak ada yang saya lakukan setelah mengonfirmasi kehadiran. Saya segera menghubungi orang yang percaya kalau saya bisa berada di dalam kegiatan tersebut. Saya hanya ingin menemukan ketidaktahuan. Menemukan potongan cerita. Oleh karena itu, saya tidak berniat untuk tidak memenuhi undangan tersebut.
Minggu, 8 Februari 2015.
Sebuah pertemuan luar biasa terjadi di Gedung Sate, Bandung. Luar biasa! Saya yang baru sampai sekitar pukul 11 siang bingung harus berbuat apa. Entah berapa jumlah manusia-manusia hebat di dalam gedung itu. Mereka datang dari penjuru kota dengan latar belakang yang berbeda. Kak Dian mengarahkan saya untuk registrasi ke panitia, dan mendapatkan kelompok mengajar. Kelompok 32 SDN Lengkong Besar. Begitu yang tertulis di layar laptop ketika nama saya ditemukan. Apapun itu, sungguh saya tak mengerti apa-apa. Saya diarahkan untuk merapat ke dalam kelompok yang ditentukan. Beruntungnya, saya satu kelompok dengan kak Dian. Sebuah kebetulan.
Pertemuan singkat itu berisi perkenalan dalam satu tim. Masing-masing tim mempunyai satu pendamping yang bisa memberikan berbagai informasi. Setelah pertemuan itu, obrolan berlanjut dalam grup Whatsapp yang dibuat pendamping. Karena kesibukan, kami hanya bertemu satu kali sebelum Hari Inspirasi.
***
Semua jawaban tentang pertanyaan ‘apakah saya menginspirasi?’ lenyap ketika saya berdiri seorang diri di depan sekitar 30-an pemilik wajah lugu. Saya tidak memiliki pengalaman mengajar siapapun dan dimanapun. Tapi hari itu saya tidak mungkin menyia-nyiakan waktu satu hari yang dipercayakan oleh sekolah kepada kami para relawan.
Saya tidak datang untuk menginspirasi, tetapi saya datang untuk bermain yang bermanfaat. Karena bagi saya, anak-anak selalu suka diajak bermain.
Di tanda pengenal yang dikalungkan tertulis sebuah profesi yang sebenarnya bukan profesi, melainkan sebuah impian bagi saya. Saya seorang karyawati di sebuah perusahaan industri elektronik. Tidak ada yang ingin saya ceritakan kepada mereka tentang pekerjaan itu. Karena buat saya, rutinitas tersebut tak pernah menarik untuk diceritakan.
“Kakak, kakak nulis buku apa?” tanya seorang anak di kelas 4, pertanyaan yang langsung membuat saya bertanya pada diri sendiri. “Nah, kan? Buku apa?”.
“Naskah kakak keseringan ditolak sama penerbit, kakak keseringan nulis di blog…” materi pun mulai mengalir. Saya menceritakan tentang mimpi-mimpi dalam hidup saya. Saya mengajak mereka untuk sama-sama berjuang dalam meraih impian masing-masing.
“Adakah yang ingin jadi penulis?”
Kepala saya celingukan, tak ada satu tangan pun yang terangkat.
“Jadi, enggak ada yang kepengin jadi penulis?”
Beberapa anak menggelengkan kepalanya, beberapa lainnya hanya diam mendengarkan. “Soalnya tulisan saya jelek, Kak.”
Deg!
Sebuah jawaban terlontar dan langsung membuat kepala saya migrain. Saya tertawa mendengar jawaban polos anak tersebut. Saya tidak dapat menyimpulkan seperti apa pengertian ‘seorang penulis’ di dalam benak mereka. Jika boleh saya menebak, ‘seorang penulis’ dalam pandangan mereka adalah seseorang yang suka menulis. Menulis. Hal dasar yang selalu diajarkan sejak kecil. Me-nu-lis. Pemahaman yang kemudian saya cerna dengan sungguh-sungguh.
“Kakak, yang tadi pakai baju kotak-kotak itu namanya siapa?” seorang anak perempuan bertanya ketika saya sudah mengkahiri kelas.
“Baju kotak-kotak ?” saya menjeda kalimat untuk mengingat “Oh, kak Mirza. Kenapa ?”
“Itu, Kak. Dia titip salam buat kak Mirza ya, Kak.”
“Bukan aku, Kak. Ini dia, nih yang titip salam.”
“Kak, nanti kakak itu suruh masuk ke kelas kita ya, Kak.”
“Kak, aku mau ibu bidan dong.”
“Pak polisi dong, Kak.”
Kalimat-kalimat itu tumpang tindih di pendengaran saya. Saya tidak menjawabnya satu persatu karena mereka mengerubungi seperti sebutir gula yang sedang di nikmati sekelompok semut.
“Iya, nanti kakak sampaikan ya, sekarang kakak harus pindah kelas,” saya berdiri dan terdiam karena seisi kelas menghampiri saya, menciumi punggung telapak tangan saya dan ough .. ada pelukkan hangat dari beberapa tangan yang melingkar di pinggang saya.
Saat itu, saya beruntung karena sedang merasakan sentuhan penuh sayang yang tidak pernah pura-pura.
Dari tiga kelas yang saya masuki, berdiri di depan anak-anak yang lebih tinggi tingkat kelasnya terasa lebih mudah. Mudah dalam mentransfer materi tentang apa yang ingin saya bagikan. Tapi sekali lagi, anak-anak selalu suka diajak bermain.
Di kelas 6, saya menjumpai mata-mata berbinar ketika sedang menceritakan impian yang tumbuh sejak saya duduk di bangku SMP. Bola mata saya menyaksikan dengan jelas, wajah-wajah penuh semangat yang sedang menyimak. Sesekali mereka menganggukkan kepala, sesekali mereka tertawa kecil dan sesekali mereka menjawab apa kalimat yang saya lontarkan.
“Di sini ada yang suka menulis buku diary?” akhirnya banyak tangan yang terangkat di kelas jam terakhir saya.
“Kenapa?” saya berkeliling meja dan bangku-bangku, mendekati anak-anak yang akan memberikan jawaban.
“Curhat.”
“Soalnya kalau abis nulis suka lega rasanya.”
“Nulis kalau sedih.”
“Suka nulis kalau lagi galau, Kak.”
Senyum mengembang di wajah saya ketika mendengar satu persatu jawaban itu. Saya berdehem satu kali dengan langkah pelan-pelan menuju depan kelas. Dan saat tepat berdiri di depan, tepat menjadi pusat perhatian seisi kelas, saya berkata dengan hati “Buat kakak, menulis adalah mesin waktu yang tidak akan pernah hilang. Ketika kalian menulis, apapun, pada saat ini. Kemudian kalian baca beberapa tahun ke depan, akan hadir perasaan-perasaan yang dulu pernah kalian rasakan ..”
Saya sengaja memberi jeda, membiarkan mereka memahami kalimat yang diucapkan. Saya kembali mendapati mata berbinar serta anggukkan yang saya artikan sebuah respon terbaik dari seroang anak berusia 11-12 tahunan “Kakak menulis karena kakak gelisah. Kakak menulis agar kakak tidak terlupakan, seenggaknya sama ingatan kakak sendiri”.
Hening.
“Ada yang mau jadi penulis?”
Beberapa anak mengangguk. Beberapa anak lainnya mengangkat satu tangannya. Saya pun mengangguk dengan senyum yang pecah.
Mungkin benar, saya datang sebagai inspirator. Mungkin benar, kegiatan yang dinamakan kelas inpirasi ini menginspirasi. Tetapi hilangkan kata ‘mungkin’, karena benar, ini tentang saya, seorang yang melabeli dirinya sebagai ‘inspirator’ telah terinspirasi.
***
Mendengar cerita-cerita teman lainnya di SDN lain yang ada di Bandung, saya merasa beruntung lahir lebih dulu dari anak-anak kekinian. Sesi evaluasi yang dilangsungkan di hari yang sama membuat saya miris dengan pendidikan masa kini.
“Saya mengajarkan mereka cara menyikat gigi, ketika saya memberikan instruksi ‘maju .. mundur .. maju ..’ sambil meragakan bagaimana cara menyikat gigi yang benar, anak-anak malah menjawab ‘maju mundur cantik. Maju mundur’. Karena apa, ketika mereka melihat TV, panutan mereka figur publik yang ada di dalamnya,” curhat seorang laki-laki yang berprofesi sebagai dokter gigi.
Saya rasa tidak salah, entah bagaimana perasaan dokter gigi tersebut ketika sedang meragakan cara menyikat gigi yang benar, tiba-tiba seluruh murid di kelas bergumam ‘maju mundur cantik, maju mundur’. Anak-anak di masa kini telah dewasa sebelum usia sewajarnya. Entah siapa yang harus disalahkan, tapi rasanya tidak perlu saling tunjuk untuk mencari pelaku. Alangkah lebih baiknya kalau kita sama-sama peduli dengan pendidikan negara ini.
Terlepas dari mirisnya pendidikan di zaman serba canggih ini, saya mengerti makna kalimat yang diucapkan kak Dian ketika kami berada di dalam bus Primajasa jurusan Bekasi-Bandung ‘Gue enggak tau lho, ya, kalau nanti ujungnya nagih’.
Saya pulang, kembali ke rumah dengan membawa lembaran-lembaran kertas berisi tulisan anak-anak SDN Lengkong Besar yang setengah hari menemani saya bermain. Saya tidak tahu kebanyakan mereka memiliki cita-cita untuk menjadi apa dan siapa, tapi satu hal yang saya tahu, mereka menulis. Menuliskan sebuah cerita dari imajinasi yang mereka buat sendiri tentang gunung dan pantai.